PENYAKIT KUSTA ATAU LEPRA
1. Epidemiologi
Cara penularan kuman kusta sampai saat ini masih
bersifat misterius, yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh penderita, yakni selaput
lendir hidung.
Penularan penyakit kusta tergantung dari 2 (hal):
a. Jumlah dan keganasan Mycobacterium Leprae
b. Daya tahan tubuh penderita
Di samping itu faktor yang berperan dalam hal penularan adalah:
a. Usia
Anak-anak lebih peka di banding dengan orang dewasa perbandingan 3:2
b. Jenis kelamin
Laki-laki lebih banyak di jangkiti oleh penyakit kusta dibanding wanita
(karena kontak lebih banyak pada laki-laki)
c. Ras
Bangsa-bangsa di Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti oleh penyakit
kusta dibanding dengan Eropa
d. Keadaan sosial ekonomi
Umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara-negara yang tingkat
sosial ekonominya rendah
e. Lingkungan
Fisik, biologis, sosial yang kurang sehat.
Masa tunasnya (inkubasi) penyakit kusta sangat lama. Umumnya berkisar
antara 2 sampai 5 tahun, tetapi bisa mencapai puluhan tahun.
2. Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacterium
leprae yang ditemukan oleh G.A. HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, yang
sampai bekarang belum juga dapat dibiakkan dalam media artifisial. M.
leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam dan
alkohol serta Gram positif (Djuanda A, 2007:74).
3. Tanda dan gejala kusta
A. Menurut (Dep Kes RI. Dirjen PP&
PL, 2007). Tanda-tanda utama atau Cardinal Sign penyakit kusta, yaitu:
1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa
Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan
(hypopigmentasi) atau kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa
(anaesthesi).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan
gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari
peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer). Gangguan fungsi saraf ini bisa
berupa :
a. Gangguan fungsi
sensori : mati rasa
b. Gangguan fungsi
motoris : kelemahan otot (parese)
atau kelumpuhan (paralise)
c. Gangguan fungsi
otonom : kulit kering dan
retak-retak.
3. Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan
jaringan kulit (BTA positif)
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta apabila di temukan satu atau
lebih dari tanda-tanda utama diatas. Pada dasarnya sebagian besar penderita
dapat didiagnosis dengan pemeriksaan klinis. Namun demikian pada penderita yang
meragukan dapat dilakukan pemeriksaan kerokan kulit. Apabila hanya ditemukan
cardinal sign kedua perlu dirujuk kepada wasor atau ahli kusta, jika masih ragu
orang tersebut dianggap sebagai penderita yang dicurigai.
B. Tanda-tanda
tersangka kusta (suspek)
1. Tanda-tanda pada kulit
a. Bercak/kelainan kulit
yang merah atau putih dibagian tubuh
b. Bercak yang tidak gatal
dan Kulit mengkilap
c. Adanya bagian tubuh
yang tidak berkeringat atau tidak berambut
d. Lepuh tidak nyeri.
2. Tanda-tanda pada
saraf
a. Rasa kesemutan,
tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka
b. Gangguan gerak anggota
badan atau bagian muka
c. Adanya cacat
(deformitas) dan luka (ulkus) yang tidak mau sembuh.
4. Derajat Cacat Kusta
Menurut Djuanda, A, 2007 membagi cacat kusta menjadi 2 tingkat kecacatan,
yaitu:
a. Cacat pada tangan dan kaki
1. Tingkat 0 : tidak ada gangguan sensibilitas,
tidak ada kerusakan atau deformitas yang terlihat.
2. + Tingkat 1 : ada gangguan sensibilitas, tanpa
kerusakan atau deformitas yang terlihat.
3. Tingkat 2 : terdapat kerusakan atau deformitas.
b. Cacat pada mata
1. Tingkat
0 : tidak ada gangguan pada mata
akibat kusta; tidak ada gangguan penglihatan.
2. Tingkat 1 : ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada
gangguan yang berat pada penglihatan. Visus 6/60 atau lebih baik (dapat
menghitung jari pada jarak 6 meter).
3. Tingkat
2 : gangguan penglihatan berat (visus
kurang dari 6/60; tidak dapat menghitung jari pada jarak 6 meter).
c. Jenis-jenis cacat kusta
Menurut Djuanda A, 1997, jenis dari cacat kusta dikelompokkan menjadi dua
kelompok yaitu:
a. Cacat primer
Adalah kelompok cacat yang disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit,
terutama kerusakan akibat respon jaringan terhadap mycobacterium leprae.
Yang termasuk kedalam cacat primer adalah :
1. Cacat pada fungsi saraf
a) Fungsi saraf sensorik misalnya : anestesi
b) Fungsi saraf motorik misalnya : daw hand, wist
drop, fot drop, clow tes, lagoptalmus
c) Fungsi saraf otonom dapat menyebabkan kulit
menjadi kering dan elastisitas kulit berkurang, serta gangguan reflek vasodilatasi.
2. Inflamasi kuman pada kulit dan jaringan
subkutan menyebabkan kulit berkerut dan berlipat-lipat
3. Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi
kuman kusta dapat terjadi pada tendon, ligamen, tulang rawan, testis, dan bola
mata.
b. Cacat sekunder
1. Cacat ini terjadi akibat cacat primer, terutama
adanya kerusakan saraf sensorik, motorik, dan otonom
2. Kelumpuhan motorik menyebabkan kontraktur,
sehingga terjadi gangguan berjalan dan mudah terjadinya luka
3. Lagoptalmus menyebabkan kornea menjadi kering
dan memudahkan terjadinya kreatitis
4. Kelumpuhan saraf otonom menjadikan kulit kering
dan berkurangnya elastisitas akibat kulit mudah retak dan terjadi infeksi
skunder.
Berikut adalah skema yang menggambarkan proses terjadinya kecacatan
akibat kerusakan dari fungsi saraf:
1. Klasifikasi Kusta
1) Tujuan klasifikasi
1. Untuk menentukan
rejimen pengobatan, prognosis, dan komplikasi.
2. Untuk merencanakan operasional, misalnya
menemukan pasien-pasien yang menular yang mempunyai nilai epidemiologis tinggi
sebagai target utama pengobatan.
3. Untuk identifikasi pasien yang kemungkinan besar
akan menderita cacat.
2) Jenis klasifikasi yang umum
A. Klasifikasi Internasional: Klasifikasi Madrid
(1953)
- Indeterminate (I)
- Tuberkuloid (T)
- Boderline-Dimorphous (B)
- Lepromatosa (L)
B. Klasifikasi untuk kepentingan riset: Klasifikasi
Ridley-Jopling (1962)
- Tuberkoloid (TT)
- Borderline tuberculoid (BT)
- Mid-Borderline (BB)
- Borderline Lepromatous (BL)
- Lepromatosa (LL)
C. Klasifikasi untuk kepentingan program kusta:
klasifikasi WHO (1981) dan modifikasi WHO (1988):
a. Pausibasilar (PB)
Hanya kusta tipe I. TT dan sebagian besar BT dengan BTA negatif menurut
kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut klasifikasi Madrid.
b. Multibasilar (MB)
Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut kriteria Ridley
dan Jnpling atau B dan L menurut kriteria Madrid dan semua tipe kusta dengan
BTA positif.
2. Reaksi
kusta
Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu
episode akut dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan reaksi
kekebalan (respon selular) atau reaksi antigen-antibodi dengan akibat merugikan
pasien.
Reaksi ini dapat terjadi pada pasien sebelum
mendapat pengobatan, selama pengobatan dan sesudah pengobatan. Namun sering
terjadi pada 6 bulan sampai setahun sesudah mulai pengobatan.
Jenis reaksi kusta di bagi menjadi 2 tipe, yaitu
1. Reaksi tipe I
Terjadi pada pasien borderline, disebabkan
meningkatnya kekebalan selular secara cepat. Pada reaksi ini terjadi pergeseran
tipe kusta kearah PB. Faktor pencetusnya tidak diketahui secara pasti tapi
diperkirakan ada hubungan dengan reaksi hipersensivitas tapi lambat.
Gejala klinis tipe I berupa perubahan lesi kulit,
neuritis (nyeri tekan pada saraf), dan/atau gangguan keadaan umum pasie (gejala
konsitusi).
2. Reaksi tipe
Reaksi ini terjadi pada pasien tipe MB dan
merupakan reaksi humoral, dimana basil kusta yang utuh maupun tak utuh menjadi
antigen. Tubuh akan membentuk antibodi dan komplemen sebagai respons adanya
antigen. Reaksi kompleks imun terjadi antara antigen, antibodi, dan komplemen.
Kompleks imun ini dapat mengendap antara lain dikulit berbentuk nodul yang
dikenal sebagai Eritema Nodusum Leprosum (ENL), mata (iridosiklitis), sendi
(atritis), dan saraf (neurutis) dengan disertai gejala konsitusi seperti demam
dan malaise, serta komplikasi pada organ tubuh lainnya.
Hal-hal yang mempermudahterjadinya reaksi kusta
adalah stress fisik (kondisi lemah, menstruasi, hamil, setelah melahirkan,
pembedahan, sesudah mendapat imunisasi, dan malaria) dan stress mental.
Perjalanan reaksi dapat berlangsung sampai 3 minggu. Kadang-kadang timbul
berulang-ulang dan berlangsung lama.
3. $3B Penatalaksanaan
a. Perawatan luka
Prinsip dari perawatan luka adalah imobilisasi dengan mengistirahatkan
kaki yang luka ( misalnya : tongkat, bidai ), merawat luka setiap hari dengan
membersihkannya, membuang jaringan mati, dan menipiskan penebalan kulit yang
selanjutnya di kompres.
a. Perawatan mata yang tidak tertutup rapat
(lagoptalmus)
1. Gunakan cermin setiap hari untuk melihat apakah
ada mata merah, bila ada segera laporan ke petugas puskesmas.
2. Tariklah kulit di sudut mata ke arah luar
dengan jari tangan sebanyak 10 kali setiap latihan, lakukan 3 kali sehari.
3. Lindungi mata dari sinar matahari, debu dan
angin.
b. Perawatan tangan yang mati rasa (anestesi)
1. Lindungilah tangan yang mati rasa dari panas,
benda kasar dan tajam untuk mencegah luka.
2. Rendamlah tangan setiap hari dengan air bersih
dalam baskom selama 30 menit untuk menjadikan kulit lembab.
3. Setelah di rendam gosok kulit menebal dengan
batu apung untuk menjadikan kulit melembut.
4. Olesi dengan minyak kelapa bersih dalam keadaan
lembab.
c. Perawatan tangan yang bengkok ( kontraktur )
1. Latih jari tangan yang bengkok 3 kali sehari,
supaya jari-jari tangan tidak menjadi kaku.
2. Rendamlah tangan 3 kali sehari dengan air
bersih selama 30 menit dan olesi tangan yang bengkok dengan minyak kelapa
bersih dalam keadaan basah.
3. Luruskan jari-jari tangan yang bengkok dengan
tangan yang lain sebanyak 20 kali setiap latihan, lakukan 3 kali sehari.
4. Taruh tangan di atas paha, dan luruskan
jari-jari tangan sebanyak 20 kali setiap kali latihan,
lakukan 3 kali sehari.
d. Pencegah luka
1. Selalu memakai alas kaki.
2. Jangan berjalan terlalu lama.
3. Berhati-hati terhadap api, air panas, dll.
4. Berhati-hati saat duduk bersila.
5. Memeriksa keadaan kaki dan kulit, apakah ada
tanda-tanda kemerahan atau melepuh.
e. Perawatan tangan dan luka
1. Kurangi tekanan pada tangan yang luka.
2. Luka harus selalu bersih, bila luka panas, bau
dan bengkak segera ke puskesmas.
3. Rendamlah setiap hari tangan dengan air bersih
selama 30 menit.
4. Balut luka dengan air bersih.
Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah
terjadi perubahan. Yang dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA
negatif pada pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe-tipe I, TT dan BT menurut
klasifikais Ridely dan Jopling. Bila pada tipes-tipe tersebut disertai BTA
positif, maka akan dimasukkan ke dalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah
semua penderita kusta tipe BB, BL, dan LL atau apapun klasifikasi klinisnya
dangan BTA positif, harus diobati dengan rejimen MDT-MB. Hal ini tercantum pada
tabel berikut.
5. Pengobatan
Obat antikusta yang paling
banyak dipakai pada saat ini adalah DDS(diaminodifenil sulfon) kemudian
klofazimin, dan rifampisin. DDS mulai dipakai sejak 1948 dan di Indonesia
digunakan pada tahun 1952. Klofazimin dipakai sejak 1962 oleh Brown dan Hogerzeil,
dan rifampisin sejak tahun 1970. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat
antibiotik lain untuk pengobatan altematif, yaitu ofloksasin, minosiklin dan
klaritromisin.
Sejak tahun 1951 pengobatan
tuberkulosis dengan obat kombinasi ditujukan untuk mencegah kemungkinan
resistensi obat, sedangkan multi drug treatment (MDT) untuk kusta baru dimulai
pada tahun 1971.
Pada saat ini ada berbagai
macam dan cara MDT dan yang, dilaksanakan di Indonesia sesuai
rekomendasi WHO, dengan obat alternatif sejalan dengan kebutuhan dan
kemampuan. Yang paling dirisaukan ialah resistensi terhadap DDS; karena DDS
adalah obat antikusta yang paling banyak dipakai dan paling murah. Obat ini
sesuai dengan para penderita yang ada di negara berkernbang dengan sosial
ekonomi rendah.
DAFTAR PUSTAKA
Crandal, R. (1973). The measurement of self-esteem and related construk,
Pp. 80-82 in J.P. Robinson & P.R. Shaver (Eds), Measures of social
psychological attitudes.Revised edition. Ann Arbor: ISR
Departemen Kesehatan RI. (2007). Buku Pedoman Nasional Pengendalian
Penyakit Penyakit Kusta.
Djuanda A. (2008). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi kelima,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Emmy S dkk. (2003). Kusta. Jakarta: Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Friedman. (2002). Buku Ajar Keperawatan Keluarga Riset, Teori, dan
Praktek, Edisi kelima, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Gottlieb, B.H. (1983), Sosial Support Strategies
(Guidelines for Mental Health Practice),Sage Publications Inc., California.
Mansjoer A dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga
Jilid Dua, Penerbit Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Nursalam. (2011). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan.Jakarta: Salemba Medika.
Perry, Potter. (1999). Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Edisi
keempat, Buku Kedokteran EGC.
Salbiah. (2003). Konsep diri http://duniapsikologi.dagdigdug.com/files/2008/12/konsep-diri.pdf.
Diakses tanggal o4 Januari 2012.
Setiadi. (2008). Konsep dan Proses Keperawatan Keluarga. Surabaya:
Graha Ilmu.
Sriati, A. (2008). Harga Diri Remaja. Http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/HARGA%20DIRI.pdf.
Di akses tanggal 04 Januari 2012.
Stuart & Sundeen (1995), Principles and
Practice of Psychiatric Nursing 5th Edition, Year Book Mosby
Inc., St. Louis-Missouri.
Sunaryo. (2004). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran. EGC.
Wadyawati (2005). Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Perubahan Respon
Sosial-Emosional. Skripsi Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga Surabaya.
Yanuasti (2001).DukunganKeluargaNaskahPublikasi:
25 mei 2008. rac.Uii.ac.id (server)document/public/20080525 ALL.rff.Semarang.
Fakultas psikologis UniversitasKatolik Soegi Japranata.
Tanggal 15 Desember 2011. Jam 13.45